Kemasan rokok beberapa hari lagi akan berubah. Jika selama ini hanya mencantumkan bahaya dalam bentuk tulisan, kini bungkus harus memuat peringatan dalam bentuk gambar. Tidak hanya itu, kemasan rokok juga harus mencantumkan peringatan dalam huruf braile.
Hal ini diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sore ini. Yaitu MK menghilangkan kata ‘dapat’ dalam pejelasan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatanyang dianggap membingungkan karena peringatan kesehatan dalam produk rokok bisa diberikan dalam dua alternatif yaitu tulisan atau gambar.
“Kata ‘dapat’ dalam penjelasan Pasal 114 UU Nomor 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga peringatan kesehatan harus dimaknai dengan tulisan yang jelas, mudah terbaca dan disertai gambar atau bentuk lainnya,” ujar ketua MK, Mahfud MD saat membacakan amar putusan pengujian Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, (2/11/2011).
Selain itu mahkamah juga menyatakan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga setelah putusan ini, Pasal 199 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Permohonan diajukan oleh ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Brata beserta sebelas rekannya. Mereka menguji Pasal 113 Ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 Ayat (1). Dalilnya, pasal-pasal tersebut diskriminatif, tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak, dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil.
Menurut MK, terdapat ketidaksinkronan norma yang penafsirannya berpotensi merugikan hak-hak warga negara yaitu Pasal 114 dan penjelasannya. Pasal tersebut menyatakan yang dimaksud dengan peringatan kesehatan adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya. Namun, Pasal 199 ayat (1) menyatakan ancaman pidana bagi produsen dan importer rokok yang tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar.
Menurut MK, kata ‘dapat’ di dalam penjelasan Pasal 114 bermakna alternatif yaitu pencantuman peringatan kesehatan yang berbentuk tulisan yang jelas dan mudah terbaca tersebut dapat disertai atau tidak disertai gambar atau bentuk lainnya. Sedangkan Pasal 199 ayat (1) dimaknai imperatif yaitu peringatan kesehatan harus mencantumkan selain tulisan juga bentuk gambar.
“Padahal, penjelasan dari suatu pasal diperlukan untuk menjelaskan dengan rumusan yang tegas supaya dapat memaknai kata ‘wajib mencantumkan peringatan kesehatan’ dalam ketentuan menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain,” ujar hakim konstitusi Harjono saat membacakan pendapat MK.
Pencantuman tulisan dan gambar berkaitan dengan jaminan dan perlindungan terhadap hak warga negara untuk memperoleh informasi. Peringatan berbentuk gambar, akan memudahkan masyarakat memperoleh informasi tentang bahaya merokok karena para konsumen tidak semuanya memiliki kemampuan baca tulis. Aturan tersebut juga mewajibkan penyediaan informasi bagi warga negara yang mengalami hambatan fisik tertentu seperti kebutaan, yaitu dengan menyediakan dalam bentuk lain misalnya dengan huruf Braille.
Mahkamah berpendapat bahwa pencantuman peringatan kesehatan tidak menghalangi apalagi menghapus hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dalam usaha bidang rokok. Mereka tetap bisa memproduksi dan memperjualbelikan produk tembakau, namun mahkamah juga mengakui bahwa pemuatan peringatan kesehatan akan dapat mempengaruhi pendapatan para pelaku industri.
Mahkamah juga menolak dalil bahwa norma tersebut diskriminatif. Karena diskriminasi hukum hanya menyangkut persoalan subjek hukum (manusia), bukan objek hukum. Rokok bukanlah subjek hukum sebagai pendukung hak, tetapi sebagai objek hukum yang berupa benda.
No comments:
Post a Comment